tulisan berjalan

Selamat Datang di Blog Bumi Minang & Culture

Minggu, 27 Februari 2011

Nilai Islam yang terkandung dalam Falsafah Adat Minang Kabau




Ditulis Oleh Silfia Hanani, M.Si18 Agu 2004


Falsafah adat Minangkabau adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adaik mamakai, alam takambang jadi guru (adat bersendi syariat, syariat bersendi Al-quran, syariat berkata adat memakai, alam terbentang menjadi guru).Lebih lanjut Hamka (1985: 138) menjelaskan;

1.
“Syarak mangato adat memakai”. Kata-kata syarak diambil dari Al-quran sunah dan fiqih, akhirnya dipakai dalam adat.
2.
“Syarak bertelanjang-adat bersamping.” maknanya syarak terang dan tegas, sedangkan adat diatur berdasarkan prosedur yang benar berdasarkan membaca yang tersurat, tersirat dan tersuruk, selanjutnya juga mempertimbangkan sesuatu itu dengan seksama dan bijaksana.
3.
“Adat yang kawi, syarak yang lazim.” Artinya adat tidak akan berdiri kalau tidak dikawikan atau dikuatkan . “Kawi” berasal dari bahasa Arab “qawyyun” berarti kuat. Syarak tidak akan berjalan kalau tidak dilazimkan atau diwajibkan. Lazim artinya biasa, namun lebih aktif dari wajib. Wajib artinya berdosa kalau ditinggalkan. Lazim artinya berpahala atau dikerjakan. “Zim” dikenakan sanksi siapa yang tidak mengerjakannya. Dengan “adat yang kawi syarak nan lazim” inilah Minangkabau ditegakkan dengan aman dan tertib.

Masuknya syariat dalam tatanan adat, membuktikan terjadinya formasi sosial dalam kultur masyarakat Minangkabau. Formasi sosial ini menjadi acuan kongkrit dalam masyarakat Minangkabau untuk menstrukturisasi struktur sosial. Konstribusi Islam dalam hal ini adalah, mencairkan kebekuan format adat dalam otoritas kekuasaan raja. Syariat mengkonstruksi ulang adat kearah yang lebih fleksibel, sehingga adat dapat mengalami perluasan-perluasan dalam menghadapi perubahan masyarakat. Untuk memenuhi tuntutan zaman tersebut, dalam masyarakat Minangkabau dikenal stratifikasi adat, mulai dari yang bersifat absolut sampai pada adat yang longgar dan dapat dirobah sesuai dengan konteks zaman, asalkan perubahan itu tidak bertentangan dengan yang absolut. Stratifikasi adat ini disebut dengan adat nan ampek (adat yang empat) yaitu:
• Adat nan sabana adat
• Adat yang diadatkan
• Adat yang teradat
• Adat istiadat
Adat nan sabana adat (adat yang sebenar adat) yakni adat yang paling tinggi dan bersifat umum. Adat ini merupakan nilai dasar yang berbentuk hukum alam yang tidak dapat dirubah dan dipungkiri.
Sedangkan adat yang diadatkan, adat yang teradat dan adat istiadat dapat berubah sesuai dengan kesepakatan penghulu dan adat salingka nagari (adat selingkar nagari) sekaligus dapat dipengaruhi oleh berbagai budaya yang datang dari luar asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam konteks ini terdeskripsikan bahwa Islam dalam tatanan adat Minangkabau bukan mengunci kekakuan, tetapi memberikan dinamisasi yang luas. Hal ini sebagai implikasi dari pada konstribusi tradisi Islam dalam formasi sosial masyarakat. Menurut Gellner (dalam Azra,1999: 20) tradisi Islam dapat dimodernisasi; cara operasinya bukan dengan inovasi atau konsensi kepada pihak-pihak luar, tetapi sebagai kelanjutan atau penyelesaian atas sebuah dialog lama dalam Islam, antara ortodok dengan penyimpangan; pertarungan lama antara pengetahuan dan kebodohan; antara tata tertib politik dengan anarki, antara peradaban dengan barbaraisme, antara kota dan desa, antara hukum Tuhan dengan adat istiadat manusia. Falsafah ini merupakan transformasi kebudayaan yang dibawa oleh semangat religious revolution. Menurut Reid (1993) religious revolution mentransformasi peradaban kebudayaan dari sistem keagamaan lokal kepada sistem keagamaan Islam. Dalam transformasi ini tidak hanya merubah dari format lama ke format baru, tetapi juga memberikan desain-desain dan patron-patron yang menengahi peradaban dengan berbagai pengejawantahan. Walaupun adat dan syarak bersumber dari dua sumber budaya yang berbeda tetapi kedua-duanya secara fundamental memiliki kesamaan dan kesejalanan cara pandang. Adat di satu sisi adalah ajaran kehidupan yang bersifat filosofikal kultural dan menawarkan kearifan-kearifan budaya (cultural wisdom) dengan berguru pada alam yang bersifat kauniyah (kontekstual) dengan referensinya alam takambang jadi guru. Sementara syarak adalah norma dan paradigma agama yang berorientasi transendental dan mengacu pada kitab suci Alquran dan Hadis, yang bersifat qauliyah (absolut). Falsafah adat memberikan konstribusi terhadap psikologis dimana adat mengacu kepada ajaran budi dan kearifan budaya, sementara Islam memberi isi kepada hal yang bersifat metafisikal dan supranatural (Naim, 2000:3). Falsafah adat yang berlandaskan syariat ini, sekaligus membentuk mode of religious masyarakat Minangkabau yang Islami. Maka secara praktis menunjukan bahwa tidak ada masyarakat Minangkabau non Islam. Berdasarkan hal ini pula Hamka (1967:22) menyimpulkan, sulit memisahkan antara adat dan agama dalam masyarakat Minangkabau. Penegasan falsafah dalam budaya Minangkabau merupakan haluan yang memiliki kekuatan hukum ilahiah. Deskriptif ilahiah ini mewarnai terminologi-termonilogi dan simbolisasi dalam satu kesatuan budaya. Setidaknya, bentuk kepemimpinan Minangkabau yang dibangun oleh tiga kekuatan yang disebut dengan tunggu tigo sajarangan ( pemerintah, ulama dan pemuka masyarakat), sebagai fakta dan realita objektif dari simbolisasi serta konsekuensi terminologi ke Islaman yang masuk ke dalam falsafah, sehingga terwujud dimensional new cultur yang berupa adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah kemudian menjadi falsafah yang mengkatrol tindakan, perbuatan dan mengakumulasi kultur Minangkabau dalam satu kesatuan yang memiliki kearifan budaya yang dilindungi oleh kekuatan internal metafisikal dan supranatural.

Penulis adalah : Mahasiswa Ph.D Universiti kebangsaan Malaysia (UKM)dan penulis buku surau asset local yang tercecer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sea-breeze Cocktail