tulisan berjalan

Selamat Datang di Blog Bumi Minang & Culture

Senin, 28 Februari 2011

PRASASTI ADITYAWARMAN ; Jejak Majapahit yang Tersisa di Minangkabau





Sejumlah prasasti tampak berdiri tegak di Kabupaten Batusangkar, Sumatera Barat. Batu itu masih tetap saja utuh, meski dipajang di ruang terbuka dengan dikelilingi pagar besi. Huruf kunonya sebagian sudah memudar. Tapi masih bisa sebagai penanda kebesaran Raja Adityawarman yang mendirikan Kerajaan Pagaruyung di bumi Minangkabau.
PRASASTI Pagaruyung juga menjadi petunjuk jejak Majapahit di negeri Minangkabau pada abad 13-14 Masehi. Saat Istana Baso terbakar beberapa bulan lalu, jejak kerajaan Pagaruyung yang masih tersisa adalah dengan prasasti yang dibuat oleh Raja Adityawarman itu. Peranan prasasti ini cukup besar untuk mengungkap perjalanan masyarakat Minangkabau.
Wajar saja jika para pemandu wisata di sana tak bisa melepaskan batu prasasti Pagaruyung sebagai bagian dari tujuan melancong wisatawan yang dibawanya. Karena dari batu itu, awal dari cerita perjalanan sejarah di beberapa tempat di Sumatera Barat.
‘Jejeran’ prasasti Pagaruyung di Kabupaten Batusangkar ini memang terkesan alami. Prasasti itu hanya dipagari besi dan tampak tanpa pengawalan khusus. ”Semestinya prasasti ini perlu dirawat dan dijaga dengan baik. Karena merupakan salah satu jejak perjalanan masyarakat Minang,” ujar M Afnan Hadikusumo, anggota DPRD DIY yang menyempatkan diri bersama rombongan melihat prasasti di Batusangkar.
Kebiasaan Adityawarman membuat prasasti semasa memerintah menjadi raja Pagaruyung, sangat membantu generasi kini untuk mengetahui perjalanan masyarakat Minangkabau. Di salah satu perjalanan itu, adalah masuknya tradisi warna pemerintahan Majapahit.
Dalam papan kaca yang dipajang, tertulis bahwa prasasti Pagaruyung I misalnya, ditulis pada batu pasir kwarsa coklat kekuningan (batuan sedimen) berbentuk persegi empat dengan tinggi 2,06 meter, lebar 1,33 meter dan tebal 38 cm. Dalam prasasti itu menyebutkan kebesaran Adityawarman yang merupakan keluarga Dharmaraja.
20 Prasasti

Dalam catatan sejarah, Adityawarman sebagai raja Pagaruyung merupakan seorang raja yang paling banyak meninggalkan prasasti. Hampir dua puluh buah prasasti yang ditinggalkannya. Diantaranya yang telah dibaca seperti Prasasti Arca Amogapasa, Kuburajo, Saruaso I dan II, Pagaruyung, Kapalo Bukit Gambak I dan II, Banda Bapahek, dan masih banyak lagi yang belum dapat dibaca.
Di antara prasasti yang telah dapat dibaca itu, menyatakan kebesaran dan kemegahan kerajaan Pagaruyung. Barangkali diantara raja-raja yang pernah ada di Indonesia tidak ada seorang pun yang pernah meninggalkan prasasti sebanyak yang telah ditinggalkan oleh Adityawarman.
Sayangnya, di Minangkabau kebiasaan seperti itu hanya dilakukan oleh Adityawarman seorang raja. Sebelum dan sesudahnya Adityawarman tidak ada yang membiasakan sehingga sampai sekarang kebanyakan data sejarah Minangkabau agak gelap.
Apalagi Istana Baso yang sebetulnya merupakan pengganti, juga terbakar. Saat ini istana tersebut sedang dibangun kembali dengan bantuan dana dari berbagai pihak. Istana ini sebetulnya sudah dua kali dibangun, setelah dua kali terbakar. Namun pembangunan istana ini, tak lepas dalam upaya melestarikan budaya Minangkabau.
Periode Panjang
Meski menjadi perhatian utama sejarah, namun Adityawarman bukan raja di Minangkabau. Melainkan adalah raja di kerajaan Pagaruyung yang merupakan salah satu periode dari sejarah Minangkabau yang sangat panjang. Adityawarman merupakan putra campuran antara Minangkabau dengan Majapahit.
Dalam ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275, mereka kembali ke Jawa dengan membawa Dara Jingga dan Dara Petak. Sesampai di Jawa kerajaan Singasari telah diganti oleh kerajaan Majapahit. Maka Dara Petak diambil sebagai selir oleh Raden Wijaya yang menjadi raja pertama kerajaan Majapahit.
Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang pada waktunya akan menjadi raja di Majapahit. Puteranya tersebut bernama Jayanegara. Dara Jingga kawin dengan salah seorang pembesar kerajaan Majapahit dan melahirkan seorang putra yang nama kecilnya Aji Mantrolot. Aji Mantrolot ini yang kemudian dikenal sebagai Adityawarman.
Sesudah Adityawarman meninggal kerajaan Pagaruyung yang tidak lagi mempunyai raja yang merupakan keturunan darah langsung dari Adityawarman. Sedangkan Ananggawarman yang dikatakan dalam salah satu prasasti Adityawarman sebagai anaknya, tidak pernah memerintah.
Karena kekuasaan Adityawarman langsung digantikan oleh Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam.
Ditinjau dari sebutan raja itu saja, kelihatannya sesudah Adityawarman, raja yang menggantikannya sudah menganut agama Islam. Disamping itu, kekuasaan di Minangkabau, pengaruh adat jauh lebih besar.
Dengan kebiasaan musyawarah, maka peran masyarakat lebih menonjol dibandingkan kerajaan. Sistem sentralistik kerajaan, seperti kebiasaan di Majapahit tidak berlaku.
Dari berbagai situs yang dikunjungi, menunjukkanmenonjolkan peran musyawarah rakyat. Di dekat situs Batu Batikam, dapat sejumlah batu yang disusun melingkar dengan sandaran di belakang tiap batu. Itulah ‘medan nan bapaneh’. Fungsinya sebagai tempat bermusyawarah pada masa lampau.
Kala itu, setiap permasalahan kampung diselesaikan tokoh masyarakat di ruang terbuka dalam posisi duduk melingkar. Di belakang ruang bermusyawarah itu, warga kampung mendengarkan diskusi para tokoh.
Perjalanan menuju benda cagar budaya berikutnya menunjukkan, kaum Minangkabau merupakan komunitas yang menyukai kebersamaan dan menganut budaya musyawarah untuk mufakat. Pada masa lalu, masyarakat Minangkabau menggelar pertemuan adat di Balai Adat Balairungsari Nagari Tabek di Kecamatan Pariangan, masih di Kabupaten Tanah Datar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sea-breeze Cocktail