tulisan berjalan

Selamat Datang di Blog Bumi Minang & Culture

Sekapur Sirih



Budaya Minangkabau adalah sebuah budaya yang berkembang di Minangkabau serta daerah rantau Minang. Hal ini merujuk pada wilayah di Indonesia meliputi propinsi Sumatera Barat, bagian timur propinsi Riau, bagian selatan propinsi Sumatera Utara, bagian timur propinsi Jambi, bagian utara propinsi Bengkulu, dan Negeri Sembilan, Malaysia. Berbeda dengan kebanyakan budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan dan sebagainya.
Berdasarkan historis, budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo, yang meliputi Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Lima Puluh Kota sekarang. Kemudian budaya tersebut menyebar ke wilayah rantau di sisi barat dan timur Luhak Nan Tigo.[1] Batas-batasnya biasa dinyatakan dalam ungkapan Minang berikut ini :

Dari Sikilang Aia Bangih
hingga Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
hingga Sialang Balantak Basi

Jika merujuk pada ungkapan tersebut, maka wilayah budaya Minangkabau meliputi :

1. Sumatera Barat
2. Bagian barat Riau : Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, Pelalawan, Indragiri Hulu
3. Bagian selatan Sumatera Utara : Natal, Kabupaten Mandailing Natal
4. Bagian barat Jambi : Kabupaten Kerinci, Bungo
5. Bagian utara Bengkulu : Kabupaten Mukomuko

Ditambah daerah rantau yang menerapakan budaya Minangkabau, yaitu :

1. Negeri Sembilan, Malaysia
2. Bagian barat Aceh : Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Nagan Raya
Semenjak zaman kerajaan Pagaruyung, ada tiga sistem adat yang dianut oleh suku Minangkabau yaitu :

1. Sistem Kelarasan Koto Piliang
Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Ketumanggungan. Ciri yang menonjol dari adat Koto Piliang adalah otokrasi atau kepemimpinan menurut garis keturunan yang dalam istilah adat disebut sebagai "menetes dari langit, bertangga naik, berjenjang turun" Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah Tanah Datar dan sekitarnya. Ciri-ciri rumah gadangnya adalah berlantai dengan ketinggian bertingkat-tingkat.

2. Sistem Kelarasan Bodi Caniago
Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang. Sistem adatnya merupakan antitesis terhadap sistem adat Koto Piliang dengan menganut paham demokrasi yang dalam istilah adat disebut sebagai "yang membersit dari bumi, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi". Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah Lima Puluh Kota. Cirinya tampak pada lantai rumah gadang yang rata.

3. Sistem Kelarasan Panjang
Sistem ini digagas oleh adik laki-laki dari dua tokoh diatas yang bernama Mambang Sutan Datuk Suri Dirajo nan Bamego-mego. Dalam adatnya dipantangkang pernikahan dalam negara yang sama. Sistem ini banyak dianut oleh luhak Agam dan sekitarnya.

Namun dewasa ini semua sistem adat diatas sudah diterapkan secara bersamaan dan tidak dikotomis lagi.

Kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, telah menghapus adat budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat Minang. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Tuanku Nan Renceh mendesak kaum adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam.

Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah perang Paderi yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cerdik pandai. Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariah Islam. Hal ini tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al Quran). Sejak reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki mesjid, disamping surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat.

Sumber : Wikipedia.org




Sea-breeze Cocktail